Wednesday, December 8, 2010

Kebahagiaan Hidup Dibalik Ketidaksempurnaan

Filled under:

Kesempurnaan hidup yang membawa kebahagiaan adalah dambaan setiap orang. Banyak cara yang dilakukan untuk meraih kedua hal tersebut. Tapi apakah kesempurnaan hidup selalu membawa kebahagiaan? Yang jelas tidak ada yang namanya kesempurnaan dalam kehidupan itu. Yang ada adalah rasa syukur itulah yang membawa kebahagiaan dalam menjalani kehidupan.
Mengejar kesempurnaan ternyata tak selamanya membawa kebahagiaan. Bahkan, mungkin saja Anda merasakan kekecewaan dan stres. Jalan keluarnya tentu bukan dengan serta merta menghilangkan semua keinginan kita untuk menjadi sempurna, tapi mengelolanya untuk k
Hidup memang tak harus sempurna. Namun, kenyataannya, dalam setiap hal yang kita lakukan, kita ingin semuanya berjalan dengan sempurna, sesuai rencana, dan mendapatkan semua yang kita inginkan. Itu wajar. Hampir semua orang memiliki sifat demikian.
”Kita hidup dalam masyarakat yang mengistimewakan kesempurnaan,” kata Edward Chang, Associate Professor dalam bidang  psikologi klinis di University of Michigan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memberikan tepuk tangan meriah pada mereka yang berusaha keras dan sukses mencapai prestasi puncak, di bidang olahraga, akademis, maupun pekerjaan.
Dengan latar belakang ini, tak bisa disalahkan jika kita semua mengidamkan rumah yang indah, pernikahan yang bahagia, pekerjaan yang menghasilkan uang banyak dan pangkat tinggi yang bergengsi, mobil mewah, pendidikan paling tinggi, dan sebagainya.

Kesempurnaan tak selalu baik
Tapi kenyataannya, mengejar kesempurnaan tak selalu berarti positif. Gina Ogden, PhD, penulis buku The Return of Desire: a Guide to Rediscovering Your Sexual Passion, mengatakan segala sesuatu yang kita hubungkan dengan kesempurnaan, seperti kebutuhan untuk diterima semua orang atau kebutuhan untuk mengontrol segala hal, sesungguhnya bertentangan dengan kondisi psikologis yang sehat, seperti penerimaan diri, keikhlasan, dan kebahagiaan.
Penelitian yang  dilakukan oleh York University terhadap 87 orang aktor, penari, dan musisi menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat perfeksionisme mereka, maka semakin tinggi pula kecemasan yang mereka rasakan. Hasil yang sama diperoleh dalam penelitian terhadap lebih dari 500 orang di University of Michigan, yang menemukan bahwa perfeksionisme berhubungan erat dengan penurunan tingkat kepuasan hidup, juga dengan kecemasan dan stres.

Kebaikan di balik ketidaksempurnaan
Sebaliknya, dalam penelitian yang dilakukan di PsyMax Solution, sebuah perusahaan yang berbasis di Cleveland, Amerika Serikat, ditemukan bahwa para CEO (Chief Executive Officer) yang mendapat skor kreativitas di atas rata-rata ternyata adalah mereka yang justru cara bekerjanya tidak terlalu rapi/teratur dibandingkan CEO yang lain.
Bahkan, penelitian lain menyebutkan bahwa 66% dari kelompok orang yang penghasilannya kurang dari 35.000 dolar Amerika per tahun menganggap dirinya sangat suka kerapian. Sementara pada kelompok lain yang penghasilan per tahunnya lebih dari 75.000 dolar Amerika, hanya 11% yang mengaku sangat menyukai kerapian.
”Kita sering dinasehati, untuk selalu menjaga kebersihan dan kerapian. Sesuatu yang berantakan identik dengan kegagalan. Padahal tidak demikian,” tegas David Freedman, penulis buku A Perfect Mess: The Hidden Benefit of Disorder. Freedman menambahkan bahwa kondisi yang berantakan dalam kadar tertentu (misalnya dalam rangka trial and error) sebenarnya bisa mengembangkan produktivitas, kreativitas, dan kualitas hidup.

Jangan jadi obsesif
Tentu, kenyataan ini tidak berarti kita dilarang untuk berusaha mencapai kesempurnaan atau membiarkan diri kita hidup tanpa aturan dan tujuan. Dan Baker, PhD, penulis buku What Happy Women Know, berkata, ”Ambisi bisa membuat kita berkembang, dan perfeksionisme dalam dosis yang tepat bisa meningkatkan kepuasan hidup.”
Purnawan EA, seorang mental motivator yang juga hipnoterapis menambahkan, “Bayangan-bayangan kenyamanan ketika ingin punya rumah dan mobil bagus, misalnya, tentu tidak salah jika digunakan sebagai perangsang untuk menjalani hidup dan karir dengan penuh semangat. ”Fungsinya hanya sebagai bumbu, bukan pokok kehidupan,” Purnawan mengingatkan.
Masalahnya, seringkali keinginan dan harapan untuk menjadi sempurna itu berubah menjadi sebuah obsesi, bahkan tidak bisa menerima segala sesuatu yang kurang dari sempurna. Kondisi seperti inilah yang justru merusak diri kita.
Karenanya, daripada sibuk mengejar harapan-harapan yang belum tentu akan menjadi kenyataan atau terobsesi untuk menjadi sempurna – yang belum tentu akan membawa kita pada kebahagiaan – Purnawan mengajak kita untuk berdamai dengan keburukan/kekurangan.
”Ada perbedaan antara mengarahkan diri Anda ke sebuah standar yang tinggi, dengan mengarahkan diri Anda pada sesuatu yang tidak mungkin diraih. Semakin keras Anda mendorong diri Anda untuk mencapai sesuatu yang tidak mungkin Anda raih, maka semakin besar stres Anda,” kata Baker.

Tak sama dengan kebahagiaan
Situasinya menjadi sangat ironis. Ketika orang berusaha mencari kesempurnaan dalam mengejar kebahagiaan, mengapa yang didapat justru kekecewaan, kecemasan, dan stres.
Purnawan menjelaskan, ”Rumah bagus atau mobil  mewah yang seringkali kita kejar itu sebenarnya hanyalah harapan-harapan kenyamanan yang diolah oleh otak. Itu hanya imajinasi, bukan kenyataan yang sebenarnya.”
Purnawan meyakini bahwa sifat perfeksionis yang mengejar segala sesuatu yang bagus dan sempurna, sesungguhnya bukanlah sifat dasar manusia. ”Perfeksionisme didorong oleh rasa  iri hati, ingin memiliki seperti yang dipunyai orang lain. Kita melihat orang lain memiliki sesuatu yang kelihatannya bagus dan enak, maka kita ingin sepadan dengan orang lain,” tambahnya.
Tapi, Purnawan mengingatkan, sebenarnya kebahagiaan manusia itu sifatnya mulur-mungkret (memuai dan mengerut – Red), tidak statis. Kesenangan berubah-ubah, tidak berlangsung terus-menerus. Ketika sudah tercapai sesuatu yang diinginkan, maka keinginan akan meningkat ke sesuatu yang lebih besar lagi, sehingga mengurangi kesenangan yang sebelumnya terasa, bahkan bisa menjadi sedih, karena harapan barunya belum teraih.
Purnawan berpendapat bahwa sebenarnya kehidupan justru bisa dikatakan sempurna kalau dilengkapi dengan kebaikan dan keburukan di dalamnya. ”Kalau cuma baik saja itu belum sempurna namanya, baru separuh sempurna,” katanya. Karena itu, menurut Purnawan, kita sebagai manusia sebaiknya tidak hanya mengharapkan kesempurnaan saja. 
Daripada sibuk mengejar harapan-harapan yang belum tentu akan menjadi kenyataan atau terobsesi untuk menjadi sempurna – yang belum tentu akan membawa kita pada kebahagiaan – Purnawan mengajak kita untuk berdamai dengan keburukan/kekurangan.

Sumber : sweetspearl.com

0 komentar:

Post a Comment